Beranda | Artikel
Bulan Suro Bukan Bulan Sial
Jumat, 30 Agustus 2019

Anggapan sebagian masyarakat bahwa Bulan Suro/Muharram sebagai bulan penuh musibah tidaklah keluar dari dua hal, yaitu :
1) Mencela waktu.
2) Tathayyur (beranggapan sial dengan waktu tertentu).

Jika seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial, berarti dia mencela Allah [1]. Merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja, bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan.

Beranggapan sial termasuk kesyirikan…”
“…Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial.
Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.”

(H.R. Abu Daud no. 3912)[2]

Hendaknya seorang muslim mengambil pelajaran dari musibah, bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Allah tidaklah mendatangkan musibah kecuali karena ada sebabnya, di antaranya dosa yang kita perbuat. [3]

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada Bulan Muharram [4].
– Puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) dapat menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu [5]. Lebih utama lagi jika ditambah dengan 9 Muharram.

[1] H.R. Muslim no. 6000
[2] Dikatakan sahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429
[3] Q.S. Asy Syuraa : 30
[4] H.R. Muslim no. 1163
[5] H.R. Muslim no. 1162

Bulan Suro, nama ini begitu populer di kalangan orang Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lainnya yang mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah bulan Muharram menurut kalender Islam.

Anggapan masyarakat mengenai Bulan Suro

Bulan Suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai Bulan Suro atau Bulan Muharram, sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Karena kesialan Bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini, ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini Bulan Suro lho.”.

Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah dan sebagainya. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dan lain lain. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai Bulan Suro dan kesialan di dalamnya.

Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal, yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Ingatlah, bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.

Mencela waktu atau bulan

Dalam Shahih Muslim, dibawakan Bab dengan judul “larangan mencela waktu (ad-dahr)”. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Allah ’Azza wa Jalla berfirman, ’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (H.R. Muslim no. 6000).

Dari pemaparan ini, jelaslah bagi kita bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.

Merasa sial dengan waktu tertentu

Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.

Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja, bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan.” (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), “Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (H.R. Abu Daud no. 3912. Dikatakan sahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429).

Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu, baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang, bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.

Musibah datang bukanlah karena Bulan Suro

Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (Q.S. Asy Syuraa [42] : 30).

Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah berpesan, “Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah).

Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’Azza wa Jalla.

Lalu pantaskah Bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana?

Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di Bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.

Marilah kita isi Bulan Muharram dengan berpuasa

Bulan Suro/Muharram dengan banyak berpuasaRasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada Bulan Muharram sebagaimana sabdanya, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (H.R. Muslim no. 1163).

Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ ,yaitu pada tanggal 10 Muharram karena berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai (keutamaan) puasa hari ’Asyura’. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (H.R. Muslim no. 1162).

Lebih baik lagi ditambah berpuasa pada tanggal 9 Muharram. Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata mengenai puasa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pada hari ’Asyura’. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu. Lalu para sahabat mengatakan, “Ya Rasulullah, hari ’Asyura’ adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Kalau begitu, tahun depan –jika Allah menghendaki- kita akan puasa pada hari kesembilan (Muharram)”. Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah meninggal dunia.” (H.R. Muslim no. 1134).

Jadi, lebih baik adalah kita berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Inilah tingkatan yang paling utama. Sedangkan berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja adalah tingkatan di bawah tingkatan pertama tadi. Inilah yang dijelaskan Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah dalam kitab beliau Tajridul Ittiba’.

Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa pada Bulan Muharram. Wallahu A’lam bish showab. Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Ditulis oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T. , M.Sc.


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/bt1533/